I’m With You
By: toni
Dingin.
Gadis itu merapatkan jaketnya, menaikkan resletingnya. Pandangan matanya tak beralih dari danau yang menghampar di hadapannya. Dingin rantai ayunan yang digelantungi kedua tangannya menambah rasa dingin yang menggigiti kulitnya. Dingin besi bangku ayunan menembus celana jeans yang dipakainya, menambah rasa dingin yang makin menusuk. Meski begitu, ia tak pernah punya niat untuk bangkit dari ayunan dan mencari kehangatan.
Perih
Gadis itu mengusap dadanya, mengingat rasa sakit hatinya yang membuatnya lari ke danau ini dan merenung. Merenungi sebab-sebab mengapa hidupnya ini penuh dengan masalah. Ia stress. Depresi.
Orangtuanya memaksa dirinya untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal, termasuk dalam hal yang tidak mampu ia jalani. Adiknya selalu memfitnahnya dan menjadikannya orang yang selalu salah di mata kedua orangtuanya. Mereka kerap bertengkar hebat hingga tinju mereka berbicara. Sudah berkali-kali ia disumpahi mati oleh adiknya, dan ia pun melakukan hal yang sama. Ia harap adiknya tak pernah dilahirkan ke dunia ini.
Teman-temannya terlalu bergantung padanya, baik dalam masalah finansial maupun pelajaran. Ada PR, tugas, atau ulangan? Tanyalah jawabannya pada sang gadis. Kurang uang? Pinjamlah pada sang gadis. Tak harus dikembalikan kok. Begitu pendapat teman-teman si gadis. Siapa yang tidak depresi jika setiap hari selalu diperlakukan seperti itu?
``````````
Seorang pemuda sebaya sang gadis berjalan dalam kecepatan yang konstan ke tempat dimana sang gadis berada. “Mau teh?” tawarnya pada sang gadis. Tanpa bicara sang gadis mengambil mug yang disodorkan sang pemuda. “Doumo arigatou… thanks…,” ucapnya lirih. Tanpa bicara, sang pemuda mengambil tempat di ayunan sebelah sang gadis. Sang pemuda mengambil ancang-ancang, lalu berayun. Rambutnya beterbangan diterpa angin, tersibak, menunjukkan paras rupawan yang nampak cerdas, pengertian, dan menyenangkan.
“Kekanak-kanakan sekali, sudah bangkotan begini masih bermain ayunan seperti itu,” dengus sang gadis. Sang pemuda, masih terus berayun, tertawa lepas. “Ah, biar. Aku kan memang kekanak-kanakan. Lagipula aku baru tujuh belas tahun. Kau harus berayun juga. Rasanya menyenangkan,” sahut sang pemuda. “Menyenangkan apanya. Aku malah makin kedinginan kalau ikut berayun. Jaketku tipis, tahu,” bantah sang gadis. Sang pemuda mendadak menghentikan laju ayunannya, lalu menatap wajah sang gadis dalam-dalam.
“Kau masih dipusingkan akan semua masalahmu?” tanya sang pemuda khawatir. Sang gadis mengangguk. Terdiam. Angin malam perlahan bertiup. “Ceritakanlah hidupmu dengan cara yang tak pernah kau gunakan sebelumnya,” pinta sang pemuda. Sang gadis tidak bereaksi. Masih memandang lurus ke depan. Bibirnya masih tertutup. Sang pemuda ikut memandang lurus ke depan. Menatap kelamnya air danau di kegelapan malam.
Untuk beberapa lama, tiada suara yang keluar dari bibir kedua insan itu. Yang ada hanya suara alam. Paduan suara para jangkrik bersahut-sahutan, beradu dengan paduan suara para katak laiknya dua paduan suara yang sedang beradu vokal. Burung hantu ber-uhu-uhu lembut dari dahan pohon. Desir ombak danau turut meramaikan suasana. Bulan purnama bersinar terang. Seharusnya ini bisa menjadi malam yang sangat indah dan romantis. Seharusnya.
“Aku bagaikan hidup di dalam lubang yang dalam, gelap, dan dingin…,” desah sang gadis memecah keheningan. “Dimana tak ada cahaya maupun jalan keluar…,” sambungnya lirih. Sang pemuda menoleh, menatap wajah cantik sang gadis yang tertutupi oleh kepedihan dan kegalauan yang teramat sangat ruwet. “Mengapa tak ada jalan keluar dan cahaya?” tanya sang pemuda. Sang gadis menutup kedua matanya, lalu menjawab dengan pedih, “Karena aku sudah terlalu lama terjatuh ke dalam lubang itu. Seluruh jalan keluar dan jalan cahaya telah tertutupi oleh seluruh batu kesalahanku. Sungguh tak ada jalan…”
“Tiadakah orang yang mampu menyelamatkanmu dari lubang itu?” tanya sang pemuda. Sang gadis perlahan menggeleng. “Sepertinya tiada…,” bisik sang gadis. Bulir-bulir airmata berjatuhan, mengalir di pipinya. “Apa kau benar-benar percaya akan hal itu?” tanya sang pemuda lirih. Kata-kata sang gadis laiknya jarum tajam yang turut menggores-gores hatinya.
Sang gadis perlahan mengangguk. Air matanya terus berjatuhan, menganak sungai di pipinya. Sang pemuda bangkit dari ayunan, lalu berlutut di hadapan sang gadis. “Tapi percayalah padaku. Masih ada seorang pangeran yang akan menyelamatkanmu,” ucapnya sungguh-sungguh. Sepasang mata lembutnya bertemu dengan sepasang mata sembab sang gadis. “A… apa maksdmu? Si... siapakah pangeran pemberani itu?” tanya sang gadis terbata-bata, kaget. Sang pemuda meraup tangan sang gadis, menggenggamnya, dan memberinya kehangatan.
“Pangeran itu... adalah aku...,” jawab sang pemuda sungguh-sungguh. Ia mengecup tangan sang gadis. Tak disangka-sangka, sang gadis langsung menubruk sang pemuda, merengkuhnya erat dalam lengannya. “Kuharap… kuharap kau benar-benar akan menyelamatkanku, pangeranku…,” isak sang gadis. Isakan terus mengalir dari bibirnya. Kali ini bukanlah isakan sedih. Bukan isakan marah. Bukan pula isakan frustasi. Melainkan isakan haru dan bahagia.
Paduan suara para jangkrik dan katak menyanyikan senandung alam yang merdu. Suara uhu-uhu burung hantu meningkahi senandung paduan suara itu. Kunang-kunang berterbangan, sinar bulan purnama terpantul di permukaan danau, dan jutaan cahaya bintang dari jutaan tahun lalu berkilauan di angkasa, memberikan backsound dan efek visual alami nan indah luar biasa. Seindah perasaan kedua insan manusia yang berada di sana.
cerpen baru
Senin, 28 Desember 2009Diposting oleh toni di 21.07
Label: cerpen baru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar